Jumat, 31 Oktober 2008

GAYa NUSANTARA

Asal Mula Berdirinya GAYa NUSANTARA           
           Sosok lesbian, gay, atau waria masih kerap dilihat sebagai sosok yang aneh, weird. Banyak orang yang masih merasa jengah ataupun canggung untuk bergaul dan berakrab-akrab dengan para lesbian, gay atau waria yang berada di lingkungan masyarakat. Kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT), memang berbeda dalam hal gender dan orientasi seksual. Kaum LGBT tersebut juga memperoleh sikap negatif dari masyarakat yang mengenal mereka. 
         Di mata agama manapun, relasi seksual yang dilakukan seorang LGBT masih banyak diyakini sebagai perbuatan dosa. Sementara di sisi lain, kita sebagai manusia juga tak bisa menghindari kenyataan diri sebagai individu dengan orientasi seksual ataupun identitas gender LGBT. Meskipun banyak kawan LGBT yang kemudian memisahkan soal orientasi seksual ataupun identitas gendernya dengan soal keyaknan religiusnya, banyak juga dari mereka yang terombang-ambing antara orientasi seksual ataupun identitas gendernya dengan keyakinan relgusnya. Maka dari itu dibentuklah sebuah lembaga yang khusus menaungi kaum LGBT. GAYa NUSANTARA adalah lembaga sosial masyarakat yang khusus menaungi kaum gay. Lembaga ini terbentuk sebagai tempat bernaung kaum gay yang mayoritas akan terkucilkan dari masyarakat dan lembaga tersebut juga selalu melakukan kegiatan-kegiatan sosial. 
       Kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan oleh lembaga GAYa NUSANTARA (GN) diantaranya adalah memfasilitasi jasa layanan kesehatan bagi para kaum LGBT, mengadakan acara bedah buku, memutar film pendek sebagai pengetahuan bagi para kaum LGBT, membuat sebuah bulletin bulanan yang menampung setiap inspirasi, ide, cerita, puisi ataupun berbagai kisah yang menarik. Dari GN, semua informasi tentang kaum LGBT pun diperoleh. 
           GAYa NUSANTARA berdiri bukan tanpa tujuan. Visi lembaga GAYa NUSANTARA adalah Terwujudnya tatanan sosial yang menerima dan menghargai hak-hak asasi manusia, keragaman seks, gender, seksualitas dan kesejahteraan seksual, atas dasar Kerelawanan, Demokrasi, Anti kekerasan, Independensi serta Keterbukaan. Sedangkan misi yang ingin dicapai oleh GAYa NUSANTARA adalah melakukan pendidikan dan penyadaran publik, menyediakan dan mengembangkan media untuk saling berkomunikasi, berdiskusi, dan berjaringan serta menyediakan pelayanan untuk kesejahteraan seksual yang optimal, aktualisasi diri dan kebebasan berekspresi dan membangun jaringan, memperkuat organisasi, dan bekerjasama dengan organisasi yang mempunyai tujuan serupa. Nilai-nilai dasar yang ada pada lembaga GAYa NUSANTARA adalah :
1. Kerelawanan: bekerja tanpa pamrih yang mengutamakan kepentingan dan tujuan organisasi         sesuai visi dan misi.
2. Demokrasi: pengambilan keputusan yang terbuka, partisipatif dengan kemampuan menerima      perbedaan dan kesetaraan.
3. Anti kekerasan: lebih mengutamakan dialog untuk mencapai kesepakatan dan berupaya               sekuat mungkin untuk menghindari kekerasan secara phisik, psikis, sosial dan budaya sebagai     bagian dari upaya penegakan HAM dan dan memerangi ketidak adilan.
4. Independensi: kebebasan untuk menentukan arah dan tujuan organisasi, tanpa dipengaruhi         oleh kepentingan-kepentingan pihak lain.
5. Keterbukaan: konsisten dan jujur dalam memberikan fakta dan informasi yang sesungguhnya     sejauh untuk kepentingan dan tujuan organisasi serta visi dan misi.
          Ke "KHAS" an GAYa NUSANTA adalah pelopor organisasi gay di Indonesia yang terbuka dan bangga akan jati dirinya serta tidak mempermasalahkan keragaman seks, gender dan seksualitas serta latar belakang lainnya.
Pendiri GAYa NUSANTARA
Dewan Pembina GN: DÉDÉ OETOMO
          Pria kelahiran Pasuruan 6 Desember ini bisa dikatakan sebagai 'Bapak Gay Indonesia', karena beliaulah orang pertama di Indonesia yang berani secara terbuka di depan umum mengakui orientasi seksualnya sebagai gay. Keinginannya agar kaum gay bisa diterima tanpa ada perbedaan di dalam masyarakat, membuat Pak Dede mendirikan GN. Melalui GN inilah, apa yang menjadi cita-cita dan keinginan Pak Dede untuk memajukan kamu gay di Indonesia berusaha direalisasikan. Meski sekarang ini Pak Dede semakin banyak kesibukan, namun GN tetap tidak ditinggalkannya, selalu ada waktu untuk GN. Penerima penghargaan internasional Felipa De Souza Award 1998 di New York ini, juga memberi kesempatan bagi gay-gay generasi baru untuk mengekspresikan potensi dirinya. Itu sebabnya penganut vegetarian ini sekarang memilih menjadi Dewan Pembina saja di GN dan menyerahkan posisi ketua GN kepada aktivis-aktivis yang lain. Di berbagai kesempatan, penulis buku 'Memberi Suara Pada Yang Bisu' ini, masih laris juga sebagai narasumber untuk kegitan-kegiatan seminar di bidang gender, kesehatan seksual, sosial maupun politik. Bukan cuma di Indonesia saja, namun juga di mancanegara.

FIELD NOTE

FIELD NOTE
(Catatan lapangan)

Nama : Amar (bukan nama sebenarnya)
Umur : 27 tahun
Alamat : Jl. Mojo Kidul I
Pekerjaan : pegawai swasta

Peristiwa

          Subyek bernama Amar, pada saat kami hendak melakukan wawancara saat itu subyek sedang duduk santai di ruangan kantornya karena telah selesai bekerja. Awalnya pada saat kami datang subyek terlihat seperti kebingungan dan bersikap tidak bersahabat namun setelah kami utarakan dan kami jelaskan maksud kami subyek perlahan-lahan mulai bersikap ramah. Terlihat dari cara subyek menjawab beberapa pertanyaan kami, bahwa subyek merupakan pribadi yang tegas dan bersikap hati-hati dalam menjawab pertanyaan kami, namun lama kelamaan subyek mulai terbuka karena mungkin telah merasa nyaman dengan kedatangan kami.
          Subyek sudah bekerja di LSM Gaya Nusantara , dan subyek menjabat sebagai penanggung jawab relawan. Dalam melaksanakan tugasnya subyek bekerja dengan penuh tanggung jawab dan serius. Selain itu subjek bersedia menampung seluruh keluh kesah anggotanya, bahkan berani berjuang demi kemajuan anggota dan LSM yang menaunginya.
         Subyek mulai menjadi seorang transgender sejak, menurutnya sejak kecil ia suka dengan hal-hal yang feminim, suka bermain boneka, suka melihat hal-hal yang menurut kaum wanita pada umumnya lucu. Subyek juga lebih sering bermain dengan anak perempuan karena mereka lebih ramah dan tidak nakal. Selain itu subyek merasa lebih nyaman bila bermain dengan anak perempuan. Selain itu subyek rajin bila disuruh ibunya membantu memasak maupun menyapu. Subyek merupakan anak terakhir dari empat bersaudara, dan merupakan anak laki-laki kedua. Dan jarak subyek dengan kakak-kakanya cukup jauh.
         Saat kecil subyek merupakan pribadi yang tertutup baik terhadap keluarga maupun teman sebayanya. Bila ada suatu masalah subyek lebih suka menyimpanya sendiri. Dilingkungan rumahnyapun subyek jarang bergaul dengan teman-teman sebayanya. Selain pendiam saat kecil juga subyek lemah lembut dan sering sakit. Sehingga ibu subyek selalu melarang subyek untuk bermain hal-hal yang dapat menguras tenaganya.
         Sikap subyek terhadap orang yang lebih tua selalu sopan dan hormat. Di sekolahpun subyek termasuk anak yang berprestasi, sehingga guru-guru dan temanya menghormatinya. Namun ada beberapa teman-teman laki-lakinya yang mengejeknya seperti cewek, namun subyek tidak sakit hati dan tidak menghiraukanya.Sikap seperti perempuan itu muncul sejak subyek kira-kira kelas II sekolah dasar dan hal itu berlanjut sampai sekarang. Subyek menyadari bahwa dirinya lebih pantas menjadi perempuan adalh waktu SMA namun saat itu subyek belum berani mengatkan hal itu terhadap keluarganya. Walaupun begitu sejak awal keluarganya telah curiga namun tetap mendiamkanya.
         Lama-kelamaan subyek mulai tertekan dengan kepribadianya yang cenderung seperti wanita tersebut dan akhirnya subyek menyampaikan apa yang dirasakannya kepada keluarganya itu. Mendengar hal itu ayahnya tentu saj sangat marah dan juga saudara-saudranya. Bahkan ibunyapun hampir pingsan. Setelah menyampaikan hal tersebut subyek meresa lega sekaligus menyesal karena meresa telah mengecewakan keluargnya dan keluarganya pun sempat mendiamkanya beberapa saat bahkan ayahnya sampai berkata tidak akn menganggap anak bila subyek tetap nekad bersikap seperti wanita, subyek merasa sangat bersalah karena telah mengecewakan keluarga yang telah menaruh harapan besar terhadapnya. Namun apa daya subyek menurut subyek, subyek tidak mampu melawan dorongan hatinya yang begitu kuat tersebut.

Senin, 20 Oktober 2008

Kehidupan Kaum Gay Di Pandang Dari Status Sosial Di Masyarakat

Kehidupan Kaum Gay Di Pandang Dari Status Sosial Di Masyarakat
(Studi Kasus Kaum Gay di Yayasan GAYa NUSANTARA, Mojo Kidul, Suarabaya)
Usulan Perkuliahan Luar Kelas
Disusun sebagai tugas mata kuliah Gerakan Sosial
Nama Kelompok
1. Sinta Lutfikasari     /      064564003
2. Dila Puspa J.           /       064564004
3. Vivi Ngesti R.         /        064564009
4. Hestya Dwi A.        /         064564207
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2008
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang 
Pranata sosial yang kita masuki sebagai individu, sejak kita memasuki keluarga pada saat lahir, melalui pendidikan, kultur pemuda, dan ke dalam dunia kerja dan kesenangan, perkawinan dan kita mulai membentuk keluarga sendiri, memberi pesan yang jelas kepada kita bagaimana orang “normal” berperilaku sesuai dengan gendernya.1
Karena konstruksi sosial budaya gender, seorang laki-laki misalnya haruslah bersifat kuat, agresif, rasional, pintar, berani dan segala macam atribut kelelakian lain yang ditentukan oleh masyarakat tersebut, maka sejak seorang bayi laki-laki lahir, dia sudah langsung dibentuk untuk “menjadi’ seorang laki-laki, dan disesuaikan dengan atribut-atribut yang melekat pada dirinya itu. Demikian pula halnya dengan seorang perempuan yang karena dia lahir dengan jenis kelamin perempuan maka dia pun kemudian dibentuk untuk “menjadi” seorang perempuan sesuai dengan kriteria yang berlaku dalam suatu masyarakat dan budaya dimana dia lahir dan dibesarkan, misalnya bahwa karena dia dilahirkan sebagai seorang perempuan maka sudah menjadi “kodrat” pula bagi dia untuk menjadi sosok yang cantik, anggun, irrasional, emosional dan sebagainya.
Proses sosialisasi peran gender tersebut dilaksanakan melalui berbagai cara, dari mulai pembedaan pemilihan warna pakaian, accessories, permainan, perlakuan dan sebagainya yang kesemuanya diarahkan untuk mendukung dan memapankan proses pembentukan seseorang “menjadi” seorang laki-laki atau seorang perempuan sesuai dengan ketentuan sosial budaya setempat. 
Pembedaan identitas berdasarkan gender tersebut telah ada jauh sebelum seseorang itu lahir. Sehingga ketika pada akhirnya dia dilahirkan ke dunia ini, dia sudah langsung masuk ke dalam satu lingkungan yang menyambutnya dengan serangkaian tuntutan peran gender. Sehingga seseorang terpaksa menerima identitas gender yang sudah disiapkan untuknya dan menerimanya sebagai sesuatu hal yang benar, yang alami dan yang baik. Akibatnya jika terjadi penyimpangan terhadap peran gender yang sudah menjadi bagian dari landasan kultural masyarakat dimana dia hidup, maka masyarakat pun lantas menilai hal tersebut sebagai sesuatu yang negatif bahkan mungkin sebagai penentang terhadap budaya yang selama ini sudah mapan. Dan sampai sejauh ini yang sering menjadi korban adalah kaum perempuan.
Lebih jauh, seksualitas dikaji tidak sepenuhnya ilmiah, bukan sebagai problem, yang perlu dicarikan solusinya, yang biasanya mengandung bias kepentingan dari pemegang kekuasaan. Seksualitas hanya dikaji secara medis dan psikologis yang sebagian besar hanya berdasarkan asas kenikmatan. Tentu saja hal ini mengakibatkan kesenjangan dengan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari yang lebih kaya dan rumit. Kajian seksualitas umumnya hanya untuk memenuhi tuntutan asas manfaat (prokreasi, misalnya), atau untuk tujuan program keluarga berencana, penanggulangan IMS dan HIV/AIDS; hal ini dibuktikan dengan tarik-menarik kepentingan antara isu kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi. 
Adanya suatu lembaga sosial masyarakat yang menaungi sekumpulan orang yang dianggap mempunyai perilaku menyimpang di dalam masyarakat adalah untuk membela kepentingan sekelompok orang tersebut. Kegiatan yang dilakukan biasanya memberikan sosialisasi mengenai hal yang berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai dari awal mula pembentukan lembaga sosial tersebut. Sebagai contoh Yayasan GAYa NUSANTARA, organisasi yang bergerak dalam penelitian dan pendidikan, penyadaran publik dan advokasi, penyediaan layanan kesehatan dan kesejahteraan seksual, dan pembangunan lembaga dan jaringan, dengan pemahaman akan keanekaragaman seks, gender dan seksualitas, menyelenggarakan Kursus Gender dan Seksualitas II dengan hibah (atau bekerjasama dengan) dari The Ford Foundation (2005-2006).
Tanggal 1 Maret 1982, organisasi gay terbuka pertama di Indonesia dan Asia, Lambda Indonesia, berdiri, dengan sekretariat di Solo. Dalam waktu singkat terbentuklah cabang-cabangnya di Yogyakarta, Surabaya, Jakarta dan tempat tempat lain. Terbit juga buletin G: gaya hidup ceria (1982-1984). Akibat dari munculnya organisasi Lambda Indonesia, di tahun1992, terjadi ledakan berdirinya organisasi-organisasi gay di Jakarta, Pekanbaru, Bandung dan Denpasar. Juga di tahun 1993 Malang dan Ujungpandang menyusul.
Pada tahun-tahun selanjutnya, kaum gay makin banyak mendirikan organisasi dan komunitas, hanyasaja belum berani unjuk diri secara terang-terangan ke masyarakat Indonesia. Namun, akhir-akhir ini fakta itu bergeser. Pasalnya, acara-acara TV yang menampilkan sosok gay semakin banyak. Kebanyakan dari mereka muncul untuk “menginformasikan” kehidupan kaum gay kepada masyarakat.
 Kuatnya citra gender sebagai kodrat, yang melekat pada benak masyarakat, bukanlah merupakan akibat dari suatu proses sesaat melainkan telah melalui suatu proses dialektika, konstruksi sosial, yang dibentuk, diperkuat, disosialisasikan secara evolusional dalam jangka waktu yang lama, baik melalui ajaran-ajaran agama, negara, keluarga maupun budaya masyarakat, sehingga perlahan-lahan citra tersebut mempengaruhi masing-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan secara biologis dan psikologis.
Melalui proses sosialisasi, seseorang akan terwarnai cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya. Dengan proses sosialisasi, seseorang “diharapkan” menjadi tahu bagaimana ia mesti bertingkah laku di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan budayanya, sehingga bisa menjadi manusia masyarakat dan “beradab”.
Sosialisasi merupakan salah satu proses belajar kebudayaan dari anggota masyarakat dan hubungannya dengan sistem sosial. Sosialisasi menitikberatkan pada masalah individu dalam kelompok. Oleh karena itu proses sosialisasi melahirkan kedirian dan kepribadian seseorang. (Soelaeman, 1998:109).

B.Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1.Apakah tujuan semula didirikannya Yayasan GAYa NUSANTARA ? 
2.Bagaimana Yayasan GAYa NUSANTARA melakukan kegiatan ataupun gerakan sosial ?

C.Tujuan Penelitian
1.Untuk mengetahui tujuan semula didirikannya Yayasan GAYa NUSANTARA.
2.Untuk mengetahui kegiatan ataupun gerakan sosial yang dilakukan Yayasan GAYa NUSANTARA.

D.Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini antara lain untuk memperkaya ilmu tentang gerakan sosial, mengaplikasikan teori – teori yang ada dalam mata kuliah gerakan sosial, serta melatih mahasiswa untuk mandiri serta bertanggungjawab dalam melaksanakan penelitian.

BAB II
KAJIAN TEORI
 Karena itu feminis liberal berdasarkan pada keyakinan bahwa (1) semua manusia mempunyai cirri essential tertentu kapasitas sebagai agen moral dan nalar dan aktualisasi diri; (2) pelaksanaan kapasitas ini dapat dijamin melalui pengakuan legal atas hak-hak universal; (3) ketimpangan antara laki-laki dan perempuan adalah diciptakan secara social (socially contructed), dan tidak ada dasarnya dalam “alam”; dan (4) perubahan social untuk kesetaraan dapat dicapai dengan mengajak public yang rasional dan dengan menggunakan Negara. Diskursus feminis kontemporer telah mengembangkan argument-argumen ini dengan memperkenalkan konsep gender sebagai cara untuk memahami semua cirri socially constructed dari ide-ide identitas kelamin dan dipakai untuk menghasilkan ketimpangan antara orang yang dianggap lelaki dan orang yang dianggap perempuan (misalnya, Lorber, 1994; Ferree, Lorber, dan Hess 1999). Ia juga memasukkan feminisme global yang menentang rasisme di masyarakat Atlantik Utara dan berjuang untuk “hak asasi perempuan” di mana-mana. Dan diskursus ini berlanjut dengan munculnya berbagai pernyataan fundamental dalam dokumen organisasi seperti national organization for womens statement of purpose dan Beijing Declaration; pernyataan-pernyataan organisasional ini bersandar pada teori kesetaraan manusia sebagai hak yang harus dihormati oleh negara-lokal, nasional, dan internasional. Argumen-argumen ini dimunculkan dalam perdebatan dalam soal hak politik atas kebebasan reproduksi (Bordo, 1993;Solinger, 1998), dalam debat dengan kalangan post-modernis tentang kemungkinan dan kegunaan perumusan prinsip hak-hak asasi (Green, 1995;Philips, 1993; Williams, 1991) dan dalam konsiderensi feminis terhadap karakter gender dari teori dan praktik demokrasi liberal (Haney, 1996, Hirschmann dan Di Stefano, 1996; Philips, 1993; Thistle, 2002).
 Penjelasan feminis liberal kontemporer tentang ketimpangan kemudia beralih ke keterkaitan dari empat faktor. Kontruksi sosial dari gender, devisi tenaga kerja gender, doktrin dan praktik ruang publik dan privat, serta ideologi patriarkis. Devisi seksual tenaga kerja dalam masyarakat modern membagi produksi dari segi gender dan ruang (sphere) yang disebut sebagai ruang “publik” dan “privat”; perempuan diberi tanggung jawab utama untuk ruang privat, sedangkan laki-laki diberi akses istimewa ke ruang publik (yang oleh feminis liberal dipandang sebagai lokus dari imbalan kehidupan sosial yang sesungguhnya- uang, kekuasaan, status, kebebasan, peluang untuk tumbuh dan berkembang). Fakta bahwa perempuan telah mendapatkan akses ke ruang publik tentu saja merupakan salah satu kemenangan gerakan perempuan-dan kemenangan feminisme liberal dan sosiologi feminis, karena fakta bahwa perempuan juga merasa mereka bisa meminta laki-laki membantu pekerjaan di ruang privat. Dua ruang ini secara konstan berinteraksi dalam kehidupan perempuan (dan lebih banyak ketimbang lelaki) dan kedua ruang itu masih dibentuk oleh ideologi patriarkis dan seksisme, yang juga pervasif di media massa kontemporer (Davis, 1997). Di lain pihak, perempuan menemukan pengalaman mereka dalam dunia publik pendidikan, kerja, politik meski ruang publik tersebut masih dibatasi oleh diskriminasi, marjinalisasi, dan pelecehan (Benokraitis, 1997; Gardner, 1995; Hagan dan Kay, 1995; Reskin dan Padovic, 1994; Ridgeway, 1997). Di lain pihak, di ruang privat, mereka mendapati diri mereka dalam ”ikatan waktu” saat mereka kembali dari kerja ke rumah untuk ”shift kedua”, kerja merawat anak dan rumah, sebuah ide yang dicangkokkan oleh ideologi keibuan (mothering) (Hays, 1996; Hochschild, 1989, 1997; Shelton, 2000). Tekanan pada kerja perempuan ini terjadi dengan cara interaksi yang kompleks-dan salah satu ciri teori feminis kontemporer adalah upayanya untuk memahami interaksi-interaksi tersebut. Kemampuan perempuan untuk bersaing dalam karir dan profesi dirintangi oleh tuntutan dari ruang privat (Waldfogel, 1997). Tuntutan dari ruang publik untuk “face time” dan komitmen total yang pada dasarnya bersifat patriarkis menambah.2
Feminisme Psikoanalisis. Feminisme Psikoanalisis kontemporer berupaya menerangkan sistem patriarki dengan menggunakan teori Freud dan pewaris intelektualnya (Benjamin, 1988; 1996; Chodorow, 1978, 1990, 1994, 1999; Dinnerstein, 1976; Langford, 1999).3 Teori-teori ini memetakan dan menekankan dinamika emosional kepribadian, emosi yang sering terpendam di bawah sadar yang telah dikatakan sebagai metode yang logis, objektifitas, berjarak, kontrol, ketiadaan pengaruh kini diinterpretasikan sebagai buatan dari kepribadian jenis kelamin. Begiti pula tema kultur populer seperti citra lelaki dominan atas wanita ditafsir ulang oleh teoritisi feminis psikoanalisis sebagai tanda kerusakan ketegangan yang diharuskan antara kebutuhan individuasi dan kebutuhan penghargaan (Benjamin, 1985, 1988; Brennan, 1994; Chancer, 1992). Bila kerusakan ini tercapai dalam kultur atau kepribadian, akan menimbulkan dua jenis patologi yang cukup hebat. Dominator yang terlalu individualis yang hanya “mengakui” orang lain melalui tindakan kontrol, dan subordinat yang terlalu tidak individualis yang melepaskan tindakan bebas hanya untuk mendapatkan identitas sebagai cerminan dari dominator tersebut.4
Teori Gender
 Oleh karena gender merupakan suatu istilah yang dikonstruksi secara sosial dan kultural untuk jangka waktu yang lama, yang disosialisasikan secara turun temurun maka pengertian yang baku tentang konsep gender ini pun belum ada sampai saat ini, sebab pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan hubungan gender dimaknai secara berbeda dari satu tempat ke tempat lain, dari satu budaya ke budaya lain dan dari waktu ke waktu. Meskipun demikian upaya untuk mendefinisikan konsep gender tetap dilakukan dan salah satu definisi gender telah dikemukakan oleh Joan Scoot, seorang sejarahwan, sebagai “a constitutive element of social relationships based on perceived differences between the sexes, and…a primary way of signifying relationships of power.” (1986:1067)
 Sebagai contoh dari perwujudan konsep gender sebagai sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, misalnya jika dikatakan bahwa seorang laki-laki itu lebih kuat, gagah, keras, disiplin, lebih pintar, lebih cocok untuk bekerja di luar rumah dan bahwa seorang perempuan itu lemah lembut, keibuan, halus, cantik, lebih cocok untuk bekerja di dalam rumah (mengurus anak, memasak dan membersihkan rumah) maka itulah gender dan itu bukanlah kodrat karena itu dibentuk oleh manusia. 
 Gender bisa dipertukarkan satu sama lain, gender bisa berubah dan berbeda dari waktu ke waktu, di suatu daerah dan daerah yang lainnya. Oleh karena itulah, identifikasi seseorang dengan menggunakan perspektif gender tidaklah bersifat universal. Seseorang dengan jenis kelamin laki-laki mungkin saja bersifat keibuan dan lemah lembut sehingga dimungkinkan pula bagi dia untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan pekerjaan-pekerjaan lain yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan kaum perempuan. Demikian juga sebaliknya seseorang dengan jenis kelamin perempuan bisa saja bertubuh kuat, besar pintar dan bisa mengerjakan perkerjaan-pekerjaan yang selama ini dianggap maskulin dan dianggap sebagai wilayah kekuasaan kaum laki-laki. 
 Disinilah kesalahan pemahaman akan konsep gender seringkali muncul, dimana orang sering memahami konsep gender yang merupakan rekayasa sosial budaya sebagai “kodrat”, sebagai sesuatu hal yang sudah melekat pada diri seseorang, tidak bisa diubah dan ditawar lagi. Padahal kodrat itu sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, antara lain berarti “sifat asli; sifat bawaan”. Dengan demikian gender yang dibentuk dan terbentuk sepanjang hidup seseorang oleh pranata-pranata sosial budaya yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi bukanlah bukanlah kodrat. 

BAB III 
METODE PENELITIAN
Sifat Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.5 Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh dan utuh mengenai gay hidup seorang gelandangan.
 Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi, yakni peneliti berusaha memahami makna dari peristiwa atau fenomena yang terjadi dalam masyarakat dan suatu hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Untuk memahami apa dan bagaiamana suatu peristiwa tersebut dapat tumbuh dan berkembang dalam dunia sosial. Tujuan fenomenologi adalah untuk dapat mengambarkan perilaku-perilaku yang dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupannya.
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
 Penelitian ini akan dilaksanakan pada tanggal 1-2, 8-9 dan15-16 November 2008. Alasan pemilihan lokasi penelitian tersebut karena selain memenuhi syarat sebagai obyek penelitian, juga karena mudah dijangkau dalam segi waktu dan biaya. Lokasi penelitian yang dipilih adalah di Jl. Mojo Kidul I/11 A Surabaya.
C. Subjek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah kaum gay yang ada di Yayasan GAYa NUSANTARA.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode observasi dan wawancara in-depth interview. Pengamatan dilakukan dengan mengamati gay hidup gelandangan di pasar citra niaga jombang.
 Peneliti terlebih dulu melakukan getting in untuk menyesuaikan diri dengan subjek penelitian dan agar lebih akrab dengan subjek penelitian Hal ini dimaksudkan agar subjek penelitian dapat mengungkap secara bebas tentang apa yang diketahuinya. Peneliti melakukan wawancara secara mendalam agar informasi yang diberikan subjek penelitian tetap relevan dengan topik penelitian. namun peneliti tetap mengikuti alur pembicaraan dari subjek peneliti dangan menafsirkan ucapannya, sehingga data yang diperoleh lengkap dan mendalam.
 Peneliti menggali informasi pertama kali dari orang-orang yang berjualan di pasar dan tingga disitu, karena dari pihak inilah peneliti mendapatkan informasi pertama kali. Peneliti berusaha mengali informasi sedalam mungkin tentang kondisi lokasi penelitian, sedangkan data in-depth interview yang dikumpulkan berupa jawaban-jawaban, ucapan-ucapan ataupun perilaku ataupun fenomena yang nampak, kemudian memahami artinya secara mendalam dan dicatat dalm field note.

E. Teknik Analisis Data
 Analisis Data merupakan mengatur, mengorganisasikanya kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian data. Langkah pertama pengolahan data adalah data yang telah terkumpul baik data observasi maupun data wawancara kemudian dipilah-pilah untuk menentukan data mana yang akan digunakan. Kedua, mengkategorikan data-data yang telah dipilah untuk digunakan dalam setiap bahasan. Ketiga, melakukan reduksi data, yaitu dengan membuat rangkuman dari hasil observasi dan wawancara. Keempat, data yang telah dikategorikan kemudian dianalisis dengan teori yang telah disusun pada bab II.